Panggilan akang-teteh atau mas-mbak?


               “Dimana tanah dipijak disana langit dijunjung”

           Tahun ini akan memasuki tahun ke-4 saya di Bandung. Mulailah terjadi difusi budaya ke dalam diri saya. Memang tepat syair peribahasa dari para penyair Melayu di atas untuk para perantau. Karena itu saya mau coba buat survey kecil-kecilan tentang salah satu budaya di tanah pasundan ini. Sebenarnya ini berawal dari perasaan saya saat menggunakan panggilan akang-teteh kepada siapapun yang berada di daerah Bandung ini. Namun suatu saat juga gak sengaja keceplosan bilang mas/mbak ke orang lain yang belum dikenal.

                Akhirnya mulai lah survey saya mulai bertanya tentang bagaimana perasaan kedekatan seseorang dengan orang lain yang dipanggil dengan kang/teteh sebelum namanya. Ternyata hamipr sebagian besar menjawab perasaan yang sama dengan saya. “Rasanya lebih dekat dengan orang tersebut kalau saya manggil namanya dia pake awalan ‘kang’ ” Bahkan kepada perantau yang baru memasuki tahun ke-2 nya di Bandung pun respon jawabannya tidak jauh berbeda.

                Lain halnya saat awal tahun 2004 saya bersama teman-teman dari sekolah ke Jogja untuk mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa di UGM. Lain lubuk lain belalang, lain pula komponen budaya yang terdifusi. Di sini panggilan aku-kamu lah yang menjadi ke”khas”an kawasan di kota pelajar ini. Kalau orang itu masih berkata ‘saya’ biasanya dia pendatang baru di kota ini. Bahkan beberapa teman yang dulu fasih bercakap lu-gue pun mulai berganti menjadi aku-kamu. Kalau dibandingkan dengan Bandung yang saya rasakan ialah perubahan penggunaan kata ‘gue’ mulai saya kurangi. Saya atau Sayah (logat sunda, referensi novel “Jomblo” ;P) mulai sering digunakan dalam percakapan harian.

                Memang setiap daerah memiliki bahasa khas nya sendiri untuk membuat para perantau terutama untuk memijak kaki di tanah rantau dan menjunjung langitnya dengan baik dan tepat. Ibarat nya kalau computer, ada passwordnya yang beda-beda untuk membuka file yang protected.

4 Responses

  1. Assalamu`alaykum wr.wb
    Kaifa haluk akh ikhwan? Moga tetap istiqomah.

    Perasaan, pertama kali ke Yogya, saya malah jarang menemukan orang yang ber-aku kamu- deh. Apa saya yang salah ya?

    Yup, memang budaya itu memberikan pengaruh ke kita. Dulu, awal-awal kuliah, saya yang terbiasa memanggil “kakak” ke kakak angkatan, sering salah ucap. Sudah beberapa bulan kuliah di Yogya tapi masih terucap “Kak, tanya ini dong.” Padahal yang berlaku di sana adalah “mba” atau “mas”.

    Begitupula ketika saya pulang ke Jakarta. Saat bertemu dengan kakak kelas SMA, panggilan untuk mereka pun secara tak sadar berubah “Mba, gimana kabarnya?” Padahal dulu, selalu tak panggil “Kak”, baik itu ke ikhwan maupun akhwat.

    Lucu juga sih. Tapi Alhamdulillahnya, beliau memaklumi apa yang saya ucapkan.. n_n ..

    (Afwan ya Mba…)

  2. AssAlAmUailaKUm W r. Wb
    SeTiAp DaErAh Pny KEkhAsAn TeRseNdIrI. kItA SeBgAi PenDaTnG Ya NgIKut AjA lAh…
    ToH kItA jUgA gAK rUgI !!!

  3. iyuy bgd.. memang dimana bumi dipijak di situ langit di junjung.. Saya juga waktu pertama ke Depok kenalan dengan anak seangkatan dan saya bilang kalo saya angkatan senior dia tapi baru masuk kuliah.. sontak ajah di manggil saya mba..
    karena tidak biasa dipanggil mba saya bilang ‘manggilnya teteh aja yah” huahahahaha.. karena tidak ada yang memanggil saya mba dulu-dulu.. dia jawabnya “iya teh.. ” saya jadi malu tapi seneng hehehe..

  4. saya merasa lebih nyaman dan lebih dekat dengan seseorang jika saya dipanggil Teteh sebelum nama saya ketimbang kaka atau mbak apalah arti sebuah nama kata shakespeare tapi buat saya disapa Teteh punya berjuta makna.. xixixi….

Leave a comment